Oleh Joice Tauris Santi (KOMPAS)
Ketika Barack Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat empat tahun lalu,
karena dianggap memiliki kedekatan emosional dengan Indonesia, tidak sedikit
orang berharap kebijakan-kebijakannya akan menguntungkan Indonesia. Harapan itu
memang terlalu besar, kalau tidak mau dibilang kita gede rasa, ge-er. Karena
nyatanya, memang kebijakan ekonomi luar negeri Amerika Serikat tidak berubah.
Demikian pula menjelang pemilihan awal November ini. Siapa pun yang terpilih,
kebijakan ekonomi AS terhadap Indonesia rasanya tidak akan berubah.
”Saya yakin tidak akan banyak perubahan. Pertama, Indonesia bukan mitra utama
ekonomi AS. Jadi, tingkat urgensi Indonesia tidak berubah. Obama pasti akan
meneruskan kebijakannya seperti yang sekarang ini. Kalau Romney yang menang, dia
lebih properusahaan besar AS, terutama perusahaan keuangan dan minyak,” ujar
ekonom dari Sustainable Development Indonesia, Dradjad Hari Wibowo.
Dia memaparkan, menurut perkiraannya, Romney akan lebih menekan negara
seperti Indonesia untuk kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa AS. Romney
juga lebih pro-market dan prokapital dibandingkan Obama. ”Dugaan saya, kebijakan
ekonomi luar negerinya akan lebih mendorong liberalisasi lebih luas di negara
menengah, termasuk Indonesia,” lanjut Dradjad.
”Saya tidak melihat perbedaan orientasi kebijakan bila Presiden Obama atau
Gubernur Romney yang akan memenangi Pemilu AS. Walaupun kalau untuk pasar modal,
biasanya Partai Republik cenderung lebih pro-market atau pro-investor, seperti
melalui kebijakan moneter yang lebih longgar dan pemangkasan anggaran yang
terbatas, serta sensitif pajak yang lebih pro-orang kaya,” kata Direktur
Hubungan Investor Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat.
Hal senada diungkapkan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Unika Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko. ”Pemilu presiden tidak akan mengubah
konstelasi besar, bahkan di bawah Obama yang terkenal friendly terhadap dunia
luar. Walaupun dia pernah tinggal di Indonesia, bukan berarti serta-merta
berpihak pada kepentingan Indonesia. Apa pun alasannya, loyalitas pertama
seorang presiden adalah pada kepentingan domestiknya,” tutur Prasetyantoko.
Energi dan pasar
Ada dua hal yang menjadi hal utama yang menjadi kepentingan AS di dalam
negeri, yaitu mencari sumber-sumber energi juga mencari pasar baru. Maklumlah,
AS merupakan negara konsumen energi terbesar di planet Bumi. Jadi, memang AS
akan berkonsentrasi untuk mendapatkan dan mempertahankan konsesi-konsesi
tambangnya, termasuk di Indonesia.
Menurut data dari Departemen Perdagangan AS, investasi asing langsung AS ke
Indonesia sebesar 15,5 miliar dollar AS hingga tahun 2010, turun 0,9 persen dari
2009. Penanaman modal asing langsung AS sebagian besar terkonsentrasi di
perusahaan nonbank dan sektor pertambangan. Sementara penanaman modal asing
langsung dari Indonesia ke AS sebesar 144 juta dollar AS per tahun 2010, turun
44,2 persen dari tahun 2009.
Walaupun banyak menerima investasi dalam sektor pertambangan, tidak banyak
hasil yang dirasakan oleh Indonesia. Pasalnya, besaran royalti yang dinikmati
pemerintah masih terlalu kecil. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2003, tarif royalti untuk tembaga sebesar 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak
3,25 persen. Kecilnya bagian royalti ini membuat geram banyak pihak. Akhir 2011,
pemerintah memutuskan untuk mengkaji ulang kesepakatan bagi hasil dalam
pertambangan ini.
Jumlah perusahaan yang harus direnegosiasi berjumlah 76 perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dan 42 kontrak karya (KK). Belakangan
sudah ada 13 PKP2B dan lima KK yang sepakat dan bersedia direnegosiasi. Namun,
dari lima perusahaan yang setuju renegosiasi tersebut, PT Freeport Indonesia
tidak masuk di dalamnya.
Tampaknya AS juga tidak akan mengubah pendiriannya yang meminta agar
Indonesia tetap berpegang pada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.
Tinggal bagaimana upaya pemerintah untuk terus mendesak perubahan tersebut agar
lebih menguntungkan.
Neraca perdagangan negatif
Hal lain yang menjadi kepentingan AS adalah terus mencari pasar baru.
Maklumlah, semakin lama neraca perdagangannya semakin menunjukkan posisi negatif
terhadap mitra dagangnya.
Upaya pencarian pasar baru itu tidak terlepas dari ketimpangan global.
Sebenarnya, ketimpangan global ini bukan isu baru. Gubernur Bank Sentral AS Ben
Bernanke menyatakan, ketimpangan global sudah ada sejak akhir 1920-an dan awal
1930-an. Ketika itu kurs dollar AS dan franc Perancis berada di bawah nilai
pasarnya. Akibatnya, kedua negara itu mengalami surplus neraca berjalan dan
derasnya aliran modal.
Sekarang, keadaan berbalik. Selama 15 tahun terakhir, perekonomian di negara
berkembang ibarat berlari, terus menciptakan surplus neraca berjalan dan menjadi
eksportir bagi negara maju khususnya AS.
AS terus mengalami defisit perdagangan, antara lain dengan mitra-mitranya,
seperti China, Jepang, Meksiko, Jerman, Irlandia, India, bahkan Venezuela, juga
Indonesia. Surplus perdagangan AS yang lumayan besar terjadi dengan Hongkong,
Australia, Uni Emirat Arab, dan Belanda, semuanya di atas 10 miliar dollar AS
pada tujuh bulan pertama 2012. Sementara surplus dengan Belgia, Singapura, dan
Brasil hanya berada di bawah 10 miliar dollar AS pada masing-masing negara.
”Mencermati data perdagangan internasional selama 2012 ini, posisi AS sangat
penting. Sebab, Indonesia terus mengalami surplus perdagangan nonmigas Indonesia
terhadap AS. Selama Januari-Juli 2012, surplus perdagangan mencapai 2,1 miliar
dollar AS. Ini berarti AS menjadi penyelamat neraca perdagangan Indonesia,” ujar
Budi Hikmat.
Namun, Budi
mengingatkan, walaupun mengalami surplus dengan AS, Indonesia bukanlah negara
yang menikmati surplus besar di atas 10 miliar dollar AS. Data ini
mengindikasikan, Indonesia lebih membutuhkan AS ketimbang AS membutuhkan
Indonesia. Dalam waktu bersamaan, Indonesia juga mengalami defisit dengan China.
Padahal, dalam pandangan Global Rebalancing 2.0 untuk mencapai keseimbangan
baru, harus dilibatkan lebih banyak negara, tidak hanya antara China dan AS,
Indonesia harus sanggup menebar surplus ke banyak negara, khususnya China.
Salah satu cara untuk mengatasi ketimpangan global tersebut adalah
mencetuskan ide Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement, sebuah
persetujuan perdagangan bebas yang bertujuan meliberalisasi ekonomi di kawasan
Asia Pasifik (TPP). TPP terus digaungkan terutama pada forum APEC di Honolulu
ketika Obama mengundang secara resmi agar negara-negara di kawasan Asia Pasifik
turut serta dalam TPP ini. Indonesia sudah menyatakan belum akan turut serta
dalam TPP ini karena hendak melihat dulu apa manfaat yang bisa didapatkan dari
kesertaan di TPP.
Prasetyantoko mengatakan, ide TPP merupakan jantung dari isu ketimpangan
global. ”Itu adalah strategi dan diplomasi AS tingkat tinggi yang bertujuan
merangsek pasar-pasar di negara lain untuk memudahkan pasokan ekspor AS dalam
rangka menyelamatkan fiskal dan utang publik AS yang sudah begitu besar
membengkak,” katanya.
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mendorong ekspor AS ke negara
berkembang. ”Strategi investasinya pun tak terlepas dari upaya untuk mendorong
tingkat penjualan barang lebih besar ke pasar luar negeri,” kata Prasetyantoko.
Upaya AS dalam mencari pasar baru harus diwaspadai dan disikapi dengan
menelisik apa yang dapat Indonesia pasarkan ke sana. Daya beli masyarakat AS
cenderung menurun sehingga produk yang berkualifikasi menengah dapat lebih
relevan masuk ke pasar AS.
”Misalnya saja produk tekstil, sepatu, dan lainnya. Jika dikelola dengan
baik, Indonesia dapat memasok produk-produk. Selain itu, produk dari industri
kreatif, seperti fashion dan kerajinan, bisa menjadi komoditas penting untuk
dipasarkan ke AS,” ujar Prasetyantoko lagi.
Jadi, walaupun kebijakan AS tidak berubah, kalau ada kemauan, tetap ada celah
untuk mengubahnya melalui renegosiasi kontrak ataupun memasukkan produk-produk
ke pasar mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar