Novel ini berangkat dari kisah I Sudamala, julukan putra bungsu Pandawa, Nakula, saat berhasil meruwat Dewi Durga kembali menjadi Dewi Uma. Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas dan kurator Bentara Budaya, mengisahkan kembali cerita ini dari sudut pandang masyarakat kontempoter. Ia menemukan relasi yang erat antara mitologi Sudamala dengan praktek ruwatan, yang sampai kini masih hidup dalam masyarakat Bali dan Jawa.
Kisah Sudamala, selalu menjadi dasar filosofis dari penyelenggaraan ritual ruwatan. Ruwatan sendiri adalah praktek spiritual yang mentransformasi manusia menjadi manusia baru.
Putu Fajar Arcana mendengar kisah ini dari ayahnya, yang sejak masa mudanya berprofesi sebagai “juru gending” di rumah-rumah warga atau pura, yang sedang menggelar ritual ruwatan. Kisah ini dimulai ketika Putu seringkali diajak ayahnya berpergian ke desa-desa dengan sepeda gayung, hanya untuk “kundangan” menembang. Di sepanjang jalan, ayah menembang dan tidak berhenti sampai tiba di tempat tujuan.
Tembang yang dilagukan tidak lain adalah kisah Nakula yang diserahkan oleh Kunti ke Setra Gandamayu, sebagai syarat agar Durga menolong Pandawa. Pandawa sedang diancam kekuatan raksasa maha sakti Citrasena dan Citranggada. Di sisi lain Durga juga punya kepentingan kepada Nakula, karena hanya putra bungsu Pandawa inilah yang bisa mengubah wajahnya menjadi Dewi Uma kembali.
Putu Fajar Arcana mengisahkan aliran kisah ini dengan bahasa yang sederhana tetapi penuh filosofi. Ia bahkan tak sekadar berkisah, tetapi sekaligus mengangkat isu-isu kontemporer seperti kekerasan perang dan gender menjadi bagian dari cerita. Buku ini juga dikomentari oleh produser Laskar Pelangi Mira Lesmana, sutradara Teater Koma N Riantiarno, serta aktris/sutradara Lola Amaria.
Buku ini menggarap kisah klasik menjadi isu kontemporer, yang seolah tidak berjarak dengan persoalan-persoalan hidup kita sekarang ini.
Penerbit Buku Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar